7 Rahasia Pendidikan Karakter ala Nabi Muhammad Saw., Menurut Al-Ustadz Muhammad Rusli Amin
Design by canva |
Sosiologi dan Sastrawan Irlandia, Sir George Bernard Shaw, mengungkapkan, "Saya sudah mempelajari Muhammad, sosok pribadi agung yang jauh dari kesan seorang anti-kristus. Dia harus dipanggil 'Sang penyelamat kemanusiaan'. Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia moderen ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia. Dia adalah manusia teragung yang pernah menginjakkan kakinya di bumi ini."
Assalamualaikum sahabat lithaetr, mari masuki dunia parenting, inspirasi, dan hiburan (musik, film, buku, dan drama Korea).
Kita sudah mengetahui sedikit tentang sirah atau perjalanan kehidupan Rasulullah dan Nabi Muhammad Saw. dari balita, anak-anak, hingga remaja. Kita pun bisa mengambil pelajaran dari tumbuh kembang beliau.
Bagaimana proses tumbuh kembang tersebut, bisa menghasilkan kepribadian yang luar biasa. Teosof Inggris, Annie Besant, mengatakan, "Adalah tidak mungkin bagi orang yang mempelajari kehidupan dan karakter seorang Nabi besar dari bangsa Arab itu-yang mengetahui bagaimana ia mengajar dan menjalani hidup-kecuali akan menumbuhkan rasa hormat atas kemuliaan Nabi yang menakjubkan ini, seorang utusan Tuhan yang teragung. Walaupun dalam karya-karya saya yang mungkin dikenal banyak orang, saya menulis banyak tentangnya, tetap saja ketika saya membaca berulang kali, rasa hormat, penghargaan, dan rasa takjub saya tak pernah ada habisnya bagi mahaguru dari bangsa Arab itu (Muhammad Saw.)."
Oleh karena itu, setidaknya kita perlu sekali lagi belajar tentang rahasia pendidikan karakter ala Nabi Muhammad Saw., menurut Al-Ustadz Muhammad Rusli Amin. Mau tahu rahasianya? Tetap simak tulisannya di sini, ya.
Al-Ustadz Muhammad Rusli Amin menuliskan dalam bukunya yang berjudul ‘Rasulullah Sang Pendidik (Menyingkap Rahasia-Rahasia Pendidikan Karakter dari Sirah Nabi Muhammad Saw.). Beliau menyingkap ada 7 pelajaran utama yang bisa diambil dari kisah kehidupan Rasulullah Saw. seperti:
1. Makna di balik nama seorang muslim
2. Sifat menurun dan lingkungan sebagai faktor pembentukan karakter
3. Kesulitan hidup sebagai sarana mengasah kualitas diri
4. Menjadi pribadi jujur, murah hati, dan bekerja keras
5. Pembentukan karakter bermula dari keluarga
6. Bimbingan Al-Quran tentang kepribadian muslim
7. Di balik sukses seseorang pasti ada peran orang lain
Kita mungkin sering mendengar sebuah ungkapan yang berbunyi ‘Apalah artinya sebuah nama?’ Bagi orang-orang yang masih beranggapan bahwa nama yang disematkan pada seseorang hanyalah sebuah tanda, agar ia lebih mudah dikenal orang lain, dan tidak memiliki makna lebih dari itu, maka dalam agama Islam tidaklah demikian.
Dalam tuntunan agama Islam, nama yang diberikan atau disandang oleh seseorang, lebih dari sekedar tanda untuk mengenal orang tersebut. Meskipun hal itu terkesan sederhana (pemberian nama pada anak atau seseorang), dalam Islam, pemberian nama pada anak ini merupakan bagian dari upaya pembinaan terhadap diri anak tersebut. Sebab sesungguhnya, pemberian nama tertentu untuk anak, menyiratkan harapan dan doa orang tua bagi anaknya.
Pemberian nama yang baik bagi anak ini benar-benar dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Beliau benar-benar memandang penting, nama yang diberikan oleh orang tuanya adalah sebuah harapan dan doa. Hal tersebut tertuang dalam sebuah hadist riwayat Bukhari dan Muslim berikut ini,
“Seseorang laki-laki bernama Abu Usaid membawa anaknya yang masih bayi kepada Rasulullah Saw. dan Rasulullah pun meletakkan anak itu di paha beliau, sementara Abu Usaid duduk. Karena ketika itu Nabi sedang sibuk dengan suatu urusan, maka beliau meminta Abu Usaid mengangkat anaknya itu dulu, lalu diangkat oleh Abu Usaid dari paha Nabi, dan anak itu dibawanya pulang ke rumah.
Beberapa saat kemudian, Rasulullah Saw. teringat akan anak tadi, maka beliau bertanya, ‘Mana anak tadi?’ Abu Usaid berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya telah membawanya pulang ke rumah.’ Rasullah bertanya, ‘Siapa namanya?’ Abu Usaid menyebut nama yang telah diberikan untuk anaknya. (Setelah mendengar nama anak itu) Rasulullah Saw. bersabda, ‘Tidak, namanya adalah Mundzir’. Maka Rasul pun mengganti nama anak Abu Usaid, dan memberikan nama Mundzir untuknya.”
Dari cerita tersebut Rasulullah memulai pendidikan karakter baik kepada anak di mulai sejak pemberian namanya. Memang hal ini terlihat sangat sepele dan sederhana, akan tetapi dalam agama Islam, nama yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya merupakan bagian dari upaya pembinaan terhadap kepribadian anak tersebut. Ada sebuah tuntunan agama yang berbunyi, “Hak anak yang harus didapatkan dari orang tuanya ada 3 perkara, yaitu memberi nama yang baik pada anak ketika lahir, mengajarkan Al-Quran kepadanya apabila ia telah memahami, dan menikahkannya jika ia telah dewasa.”
Tuntunan terkait pemberian nama yang baik ini juga tercantum dalam hadist berikut ini, “Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. memerintahkan agar memberi nama kepada anak yang baru lahir, pada hari ke tujuh kelahirannya, menghilangkan kotoran daripadanya, dan melaksanakan aqiqah untuknya.” (HR. Tirmidzi).
Nabi juga bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan menyebut nama-nama kalian, dan nama-nama ayah kalian. Karena itu, perbaguslah nama-nama kalian.” (HR. Abu Dawud).
Betapa pentingnya pemberian nama yang baik bagi seorang Muslim, sehingga menurut Nabi Muhammad Saw., ada nama-nama tertentu yang disenangi oleh Allah Swt. Rasulullah bersabda, “Nama yang paling disenangi Allah adalah Abdullah dan Abdur Rahman.” (HR. Muslim).
Jadi, nama yang baik itu mempengaruhi upaya pembinaan kepribadian, kemudian menjadi doa orang tua untuk kebaikan pribadi dan masa depan anak. Selanjutnya nama tersebut mengandung harapan demi kesuksesan dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Setelah memberikan nama yang baik, orang tua jua perlu mendidik anak-anaknya, baik dengan keteladanan dan menstimulasi anak dengan memberikan lingkungan-lingkungan yang baik. Ada sebuah peribahasa yang sudah sering kita dengar yaitu, ‘Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Selain itu, ada juga sebuah ungkapan yang berbunyi, ‘Bagaimana keadaan air di muara, semua tergantung bagaimana keadaan air itu di hulunya. Jika air di hulu jernih, maka akan jernih pula air di muara. Begitu pun sebaliknya, jika air di hulu kotor, maka akan kotor pula air di muara’. Itulah beberapa ungkapan-ungkapan perumpaan tentang kepribadian manusia, bahwasannya keadaan orang tua atau kebiasaan orang tua atau leluhur akan mempengaruhi keadaan atau kepribadian anak (keturunan) yang kelak dilahirkan.
Banyak ahli-ahli pendidikan moderen dalam teori-teorinya berpendapat dan mengakui tentang adanya pengaruh sifat menurun dari orang tua dan juga leluhur, terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Selain pengaruh lingkungan dan pendidikan-pendidikan lain yang dialaminya. Ternyata pandangan seperti itu juga terdapat dalam konsep pendidikan Islam. Sementara dalam teori pendidikan moderen lebih dikenal dengan sebutan faktor hereditas.
Hereditas didefinisikan sebagai kecenderungan alami cabang (anak) untuk meniru sumber awalnya (orang tua dan leluhur), dalam komposisi fisik dan psikologis. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa hereditas adalah penurunan (pewarisan) sifat-sifat genetik yang menurun dari orang tua kepada anak. Sifat-sifat genetik yang diturunkan ini bisa mencakup fisik, kepribadian, dan juga kecerdasan.
Teori tersebut sejalan dengan penjelasan-penjelasan sebelumnya, kalau anak adalah peniru ulung. Seorang Pakar Filsuf Akhlak Islam yang bernama Prof. Dr. Umar Muhammad al-Toumy al-Syaibany mengatakan, bahwa manusia dengan segala pertumbuhan dan perkembangannya, merupakan hasil dari pengaruh 2 faktor, yaitu faktor pewarisan sifat-sifat menurun (dari orang tua) dan faktor lingkungan. Sedemikian kuatnya pengaruh kedua faktor tersebut dalam pertu buhan fisik dan pembinaan kepribadian manusia. Bahkan pewarisan sifat-sifat menurun dari orang tua (hereditas), begitu besar pengaruhnya terhadap keadaan fisik anaknya, seperti rambut, warna kulit, wajah dan lain-lain.
Jika faktor hereditas ini kita gunakan saat mempelajari sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw., maka akan diketahui bahwa orang tua dan leluhur Rasulullah adalah orang-orang yang terhormat, orang-orang yang terpelihara dari keburukan atau kejahatan, dan orang-orang yang memiliki kedudukan mulia di dalam masyarakat Arab. Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi menulis di dalam buku sirah Nabi Muhammad, bahwa dari sisi nasab (garis keturunan), Muhammad Saw. berasal dari keturunan yang terhormat. Akhlak dan fisik beliau sangat sempurna. Tak terhitung banyaknya hadist yang menjelaskan tentang kemuliaan nasab Rasulullah Saw.
Dari situlah kita mendapatkan pelajaran penting, bahwa kemuliaan dan keagungan fisik serta kepribadian Nabi Muhammad Saw., selain karena memang kehendak dari Allah Swt., maka boleh jadi keadaan yang demikian itu, dipengaruhi pula oleh kemuliaan yang dimiliki oleh leluhur beliau, yang menurun kepada Rasulullah Saw. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda, “Allah telah memindahkan aku dari sulbi-sulbi leluhurku yang suci ke rahim-rahim yang bersih, sampai akhirnya Allah mengeluarkan aku dari ayah-ibuku, yang sama sekali tidak pernah bertemu dalam kekejian.”
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari anak turunan Ismail, dan dari Kinanah, Allah telah memilih Quraisy, dan dari Quraisy, Allah memilih Bani Hasyim, kemudian dari Bani Hasyim, Allah telah memilihku.” (HR. Muslim)
Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkan sebuah hadist, bahwa pada suatu ketika, Rasulullah Saw. naik ke mimbar lalu bertanya, “Siapakah aku?” Para sahabat menjawab, “Engkau adalah utusan Allah.” Rasulullah Saw bersabda, “Aku adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu menjadikannya dua kelompok, maka Dia jadikan aku dari kelompok yang terbaik. Kemudian Allah menjadikan kelompok itu suku-suku, maka Dia jadikan aku dari suku terbaik di antara mereka. Dan Allah menjadikan suku itu keluarga-keluarga, dan Dia jadikan aku dari keluarga terbaik serta dengan jiwa terbaik.” (HR. Tirmidzi)
Berdasarkan hadist shahih, nasab Nabi Muhammad Saw. adalah, “Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudharr bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.” (HR. Bukhari)
Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi menjelaskan, “Nabi Muhammad Saw. berasal dari garis keturunan yang sangat terhormat, dan memiliki nama yang sangat baik. Garis keturunan beliau sampai kepada Nabi Ismail As, dan Nabi Ismail adalah putra Nabi Ibrahim As, sementara Nabi Ibrahim As adalah kekasih Allah Swt. (khalilullah). Kelahiran dan keutusan Nabi Muhammad Saw. juga merupakan doa Nabi Ibrahim As. Karena itu, Nabi Muhammad pernah bersabda, “Anaa da’watu abiy Ibrahiema wa bisyaaratu akhiy ‘Isaa.” Yang artinya: “Aku adalah hasil dari doa ayahku, Ibrahim, dan kabar gembira yang pernah disampaikan saudaraku, Isa.” (HR. Al-Hakim)
Pendapat Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi ini muncul karena adanya perbendaan pendapat tentang kemulian Rasulullah. Ada yang berpendapat bahwa kemuliaan Nabi Terakhir ini, baik jasmani dan rohani, semata-mata kehendak dan perlindungan dari Allah Swt. yang telah dipersiapkan Sang MahaKuasa jauh sebelum Muhammad dilahirkan ke dunia. Adapun faktor pengaruh manusia, apakah dari kedua orang tua, pendidikan, lingkungan, dan faktor-faktor manusia lainnya, hampir tidak mempengaruhi proses menuju kesempurnaan, kemuliaan, dan keagungan Rasulullah. Sebab Allah Swt. sudah berkehendak seperti itu sejak awal.
Oleh karena itu, Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi mengemukakan pendapatnya seperti ini, “Seseorang yang memiliki (berasal) dari nasab (garis keturunan) yang mulia, apakah ia seorang nabi ataupun seorang raja, maka yang demikian itu akan memberi pengaruh dan tertanam kuat dalam jiwa manusia tentang orang tersebut. Orang-orang yang memandangnya akan terkesan dan sangat kecil kemungkinan mengingkarinya. Berbeda dengan orang yang memiliki garis keturunan yang tidak terhormat. Demikian itulah yang terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw. karena kesucian, kemuliaan, dan keagungan garis keturunan yang dimilikinya, maka pengaruh beliau sangat kuat tertanam di dalam jiwa manusia. Orang-orang yang memandangnya sangat terkesan dan sulit mengingkari kemuliaan serta keagungan yang ada pada dirinya, sehingga dalam waktu singkat perjuangannya, banyak orang terpengaruh lalu bergabung di bawah panji-panji Islam yang ditegakkan.”
Pendapat tersebut semakin dikuatkan dengan adanya pernyataan dari Syaikh Abu Faris. Beliau menyatakan di dalam kitabnya, ‘As-Sirah An-Nabawiyah’, “Garis keturunan yang mulia, akan menjadikan seseorang berakhlak baik atau berkepribadian terpuji, dan bisa menghindarkannya dari perilaku-perilaku buruk. Orang-orang yang mulia senantiasa berupaya menjaga kesucian serta kehormatan garis keturunannya, dan manusia mengenal mereka karena keluhuran garis keturunannya itu, lalu menaruh rasa hormat dan kepercayaan kepadanya.
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat tentang ada atau tidaknya pengaruh kemuliaan orang tua dan leluhur Nabi Muhammad Saw. terhadap pembentukan kepribadian beliau, kemuliaan, kesempurnaan, dan keagungan beliau, tapi satu hal yang pasti adalah, kita bisa mengambil pelajaran tentang faktor hereditas ini. Jika orang tua atau leluhur merupakan orang-orang baik, yang beriman, rajin beribadah, berakhlak mulia, dan lain sebagainya, maka besar pengaruhnya sifat-sifat baik tersebut akan diturunkan kepada anak-anaknya. Sehingga sebaiknya hal tersebut juga menjadi perhatian bagi kita sebagai orang tua.
Al-Ustadz Muhammad Rusli Amin menyampaikan, ciptakanlah lingkungan yang baik, untuk pembentukan karakter. Lingkungan terdekat bagi anak adalah keluarga yaitu ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Kedekatan secara fisik dan kejiwaan seorang anak dengan orang tuanya, memberikan pengaruh sangat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut.
Sedemikian mendasarnya pengaruh keluarga, terutama orang tua dalam upaya pendidikan dan pembentukan kepribadian anak-anaknya. Oleh karena itu, ia berpesan, jadilah teladan dalam kehidupan keluarga, sebab cara mendidik terbaik dalam kehidupan keluarga adalah dengan keteladanan.
MasyaAllah, itulah pesan yang begitu mengena bagi kita, betul sahabat? Pesan yang sekaligus menjadi garis besar dari 7 rahasia pendidikan karakter ala Muhammad Saw., bahwa jika ingin memiliki anak yang baik maka jadilah orang tua yang baik dahulu. Sudah siapkah kita menjadi orang tua yang baik? Silakan diberikan tanggapan ya, sahabat. Terima kasih sebelumnya.
Wah, luar biasa Mbak. Benar-benar banyak tugas kita para orang tua ya. Orang tua memang madrasah pertama bagi anak-anak, terutama ibu
BalasHapusIya, mbak. Saya itu selalu merasa bersalah karena ilmu saya masih sedikit sebagai orang tua. Semoga kita dimampukan untuk terus belajar menjadi lebih baik ya mbak, aamiin.
Hapus